Review Buku: Bulan Terbelah di Langit Amerika


Setelah 99 Cahaya di Langit Eropa dan Berjalan di Atas Cahaya, Mbak Hanum dan Mas Rangga merampungkan buku yang berjudul Bulan Terbelah di Langit Amerika. Menurut saya, novel ketiga ini paling menarik.
sampul buku - bulan terbelah di langit amerika

Heute ist Wunderbar, surat kabar tempat Hanum bekerja terancam bangkrut. Untuk mengangkatnya, Hanum ditantang menulis sebuah artikel luar biasa, mengambil sebuah topik yang menghubungkan dunia dengan Islam. Artikel tersebut akan menjawab pertanyaan apakah dunia akan menjadi lebih baik tanpa Islam. Topik yang sangat menyentak, tentunya bagi Hanum sebagai muslim.

Pertanyaan tersebut dihubungkan dengan peristiwa 11 September, yaitu runtuhnya gedung World Trade Center di New York, Amerika Serikat, yang kabarnya dilakoni oleh kalangan muslim. Hanum harus ke Amerika untuk mewawancarai keluarga dari korban yang tewas dalam peristiwa tersebut, baik yang pro terhadap Islam maupun yang kontra. Pada waktu yang bersamaan, Rangga juga harus berangkat ke Amerika untuk menghadiri sebuah konferensi dan presentasi paper.

Seminggu di Amerika, rencananya 3 hari pertama di New York untuk menyelesaikan tugas Hanum dan 3 hari selanjutnya di Washington DC untuk keperluan Rangga. Namun, hingga hari ketiga Hanum belum mendapatkan narasumbernya.

Pada hari ketiga, Hanum mengunjungi Museum Memorial  9/11. Saat itu ada demonstrasi penolakan pembangunan sebuah masjid. Sementara Hanum mencari narasumber, Rangga dimintanya untuk menunggu saja dan bertemu pada tempat dan waktu yang mereka sepakati. Hanum berhasil menarik perhatian Jones, pemimpin aksi tersebut, untuk diwawancara. Jones kehilangan Anna, istrinya yang tewas pada peristiwa 9/11. Karena itu, Jones merasa bahwa menyuarakan penolakan pembangunan masjid menjadi salah satu cara ‘melawan’ islam yang menyebabkan kematian istrinya. Awalnya berjalan baik-baik saja. Namun, di luar dugaan aksi menjadi kacau karena datangnya seorang provokator yang sedang mabuk. Hanum terbawa arus kerusuhan. Hanum ambruk. Ponselnya pun terpleanting dan tidak dapat digunakan lagi. Sejak saat itu, Hanum terpisah dari Rangga.

Tidak lama setelah itu, Hanum dipertemukan kembali dengan seorang kurator museum Memorial 9/11 yang paginya telah ia temui. Julia Collins, penyelamatnya, akhirnya menjadi narasumber andalan Hanum. Suaminya, Abe, adalah seorang muslim yang meninggal pada peristiwa 9/11. Dan ternyata Julia adalah mualaf yang berganti nama menjadi Azima Husein. Azima bekerja di museum memorial dengan misi mencari tahu informasi mengenai detik-detik terakhir suaminya sebelum ajal menjemput.

Berbeda dengan Jones yang sangat membenci umat Islam, Azima adalah anak seorang pendeta yang berusaha menjadi agen Islam yang baik. Ayahnya telah meninggal tidak lama setelah ia kehilangan suaminya. Ibunya seorang kristiani yang taat dan kini harus menjalani hidupnya dengan penyakit Alzheimer. Demi menjaga ketenangan dan kesehatan sang ibunda, Azima ‘menyembunyikan’ status muslimnya. Di tengah perjumpaannya dengan Azima, Hanum mengetahui banyak fakta tak disangkanya. Seperti patung Nabi Muhammad yang dibuat di relief neoklasik pada dinding Supreme Courte (Mahkamah Agung Amerika Serikat), Potongan ayat Al-Quran (surat An-Nisaa’ ayat 35) yang terpahat di salah satu dinding pintu gerbang Fakultas Hukum Universitas Harvard, dan mengenai Thomas Jefferson (Presiden ketiga Amerika) yang mempelajari dan memiliki Al-Quran.

Philipus Brown, pembicara utama dalam konferensi yang dihadiri Rangga, adalah seorang dermawan yang menyumbangkan 100 juta dolarnya untuk beasiswa bagi anak korban perang. Brown memberikan inspirasi bagi Rangga mengenai the power of giving. 

Semuanya terungkap di akhir cerita. Pada suatu malam di acara CNN TV Heroes, Rangga mengajak Hanum dan Azima beserta keluarga untuk menyaksikan secara langsung acara tersebut. Brown adalah salah satu dari kandidat heroes pada saat itu. Saat gilirannya, ia menceritakan pengalamannya di hari bersejarah, pada tanggal 11 September. Pagi itu dirinya, beserta empat orang karyawannya berada di kantor, yang berlokasi di lantai Gedung WTC. Ternyata, dua orang yang ada bersamanya di kantor adalah Anna (istri Jones) dan Abe (suami Azima). Brown menceritakan bagaimana kejadian menegangkan dan mempertaruhkan nyawa saat itu berlangsung. Bagaimana Abe terus memberikan motivasi dan keyakinan untuk tetap berusaha, bergerak dan berpikir cepat, mengeluarkan usaha terbesarnya demi keselamatan mereka, dan bagaimana Anna akhirnya putus asa dan menyerah, hingga hanya menyisakan Brown yang masih dapat menghirup udara di dunia.

Cerita berakhir bahagia. Jones yang (saat itu sedang cuci darah di rumah sakit) menonton siaran langsung acara tersebut menghubungi Brown dan mengubah pemikirannya terhadap umat Islam. Azima berurai air mata. Nyonya Collins, ibunda Azima, mulai menerima status muslim anaknya. Gertrud, atasan Hanum di tempatnya bekerja pun puas atas hasil kerjanya. Brown menegaskan bahwa umat Islam tidak seperti yang dipikirkan kebanyakan orang (selain muslim) di negaranya. Bahwa (justru) muslim yang baru saja dikenalnya beberapa jam saat itu, justru memberikan energi dan pengaruh yang positif hingga Tuhan mengizinkannya untuk selamat dari kejadian 9/11. Jadi, pernyataan bahwa dunia akan lebih baik tanpa adanya Islam pun dapat terbantahkan.

review by: atanasarah